Thursday, June 3, 2010

KISAH NABI AYUB A.S.


Pada suatu hari, seluruh Malaikat berkumpul membicarakan makhluk Allah, mengenai ketaatan manusia dan maksiatnya, keburukan manusia dan kebaikannya. Akhirnya semua Malaikat itu memutuskan dengan sebulat suara bahawa Nabi Ayublah di kala itu manusia yang paling baik di atas dunia, yang paling banyak ibadatnya kepada Allah dan yang paling tinggi keimanan dalam dadanya. Dengan harta kekayaan yang banyak, anak keturunan yang banyak pula, dia tidak pernah sekali juga terlambat beribadat dan bersujud kepada Allah. Dia selalu memperhatikan dan menolong orang-orang yang melarat dan fakir miskin.
Mendengar keputusan Malaikat itu, Iblis ingin menjalankan siasat kotornya. Iblis tak sudi kalau ada manusia di muka bumi ini tebal imannya kepada Allah, sempurna ibadat dan syukurnya. Tiap-tiap orang beriman itu, akan dicobanya membelokkan dan menyesatkannya. Dengan berbagai cara dan akal yang busuk, dengan pujukan yang halus dan dengan senjatanya yang paling ampuh, ialah dengan berbohong.

Iblis lalu datang menghadap ke hadhrat Allah, lalu berkata: “Ya, Tuhan! HambaMu yang bernama Ayub itu bukanlah beribadat menyembah Engkau, bukan bersyukur memuji Engkau. Ibadat dan syukurnya itu hanya kerana hartanya yang banyak, keturunannya yang cukup. Dia menyembah Engkau itu hanya agar Engkau menambah harta dan keturunannya. Dia bersyukur kepada Engkau itu agar semua harta dan anak-anaknya itu tetap banyak, supaya kambing dan biri-birinya yang berjumlah ribuan itu tetap tidak berkurang, supaya unta dan lembunya yang berjumlah ratusan itu semakin Engkau tambah, supaya binatang perahan dan yang dikerjakan semakin gemuk-gemuk dan kuat-kuat, supaya anak lelaki dan perempuannya yang sudah banyak itu ditambah banyak lagi. Ayub hanya menyembah harta, bukan menyembah Engkau. Mensyukuri anak keturunannya, bukan mensyukuri Engkau.
Coba Engkau izinkan saya merampas harta kekayaan itu, tentu dia tidak akan menyembah Engkau lagi. Sebab itu cobalah izinkan saya, ya Tuhan, untuk melenyapkan semua harta kekayaan itu. Allah menjawab: “Ayub adalah hambaKu yang beriman penuh dengan keimanan yang suci ikhlas. Dia menyembahKu karena memang dia menginsafi akan keharusan menyembahKu ini. Ibadatnya suci dan pengaruh harta dunia, suci dari sifat-sifat loba dan tamak.”
Tetapi kerana Allah ingin menjadikan Nabi Ayub lebih suci dan bersih imannya, agar dapat menjadi contoh teladan tentang keimanan dan kesabaran bagi seluruh ummat manusia, si Iblis diberiNya izin untuk merampas semua harta kekayaan Ayub.

Allah lalu berfirman kepada Iblis: “Boleh kau coba, kumpulkanlah semua kakitangan dan kawan-kawanmu. Lakukanlah apa-apa yang kamu rencanakan itu. Perhatikanlah nanti bagaimana kesudahannya!”
Iblis lalu bersiap mengumpulkan semua kakitangannya, semua tentara dan pembantu-pembantunya dan dia berkata kepada mereka: “Tuhan sudah mengizinkan kita untuk merampas harta kepunyaan Ayub, agar Ayub menjadi orang melarat, agar dengan kehilangan hartanya itu, hilang pula keimanan dan ibadatnya."

Dalam waktu sebentar saja, hilang lenyaplah semua harta dan kekayaan Nabi Ayub itu. Tidak seekor pun kambing atau biri-birinya lagi yang tinggal, tidak seekor pula unta dan lembunya, kebun dan tanaman-tanamannya pun habis kesemuanya.

Dengan menyamar sebagai seorang tua yang berpengalaman dan penuh dengan kasihsayang, Iblis itu lalu datang kepada Ayub dan menggodanya; dia berkata: “Sekarang hartamu sudah musnah semuanya. Tuhan yang selalu engkau puji dan sembah itu, rupanya tidak menolongmu sedikit pun. Sia-sialah engkau beribadat dan menyembahNya.

Berbagai gunjingan antara sesama manusia, melihat nasib yang menimpa Nabi Ayub itu. Di antaranya ada yang berkata: “Itulah tanda bahawa Ayub tidak ikhlas dalam ibadatnya, tidak beres sembahyang dan zakat hartanya.” Ada pula yang berkata: “Ayublah manusia yang paling baik dan paling ikhlas ibadatnya. Kenapa Tuhan tidak memelihara hartanya? Kalau Tuhan memang Pengasih dan Penolong, maka Ayublah yang paling pantas dikasihi dan ditolong Tuhan.” Ada pula orang lainnya berkata: “Semua itu terjadi, kerana Tuhan akan menguji keimanan Nabi Ayub dan ingin memberi pelajaran yang nyata kepada manusia.”

Mendengar semua perkataan itu, Nabi Ayub tinggal tenang dan sabar. Tidak sedikitpun dia merasa sedih dan menyesal. Tidak sedikit juga menggoyangkan keimanan dan keikhlasannya dalam beribadat, malah sebaliknya, Nabi Ayub semakin kuat dan bersungguh-sungguh beribadat dan memuji Allah.

Terhadap orang ramai itu, Nabi Ayub berkata: “Semua itu, adalah kepunyaan Allah. Diberikan Allah kepadaku, kemudian diambil Allah kembali. Maka terpuji Allah yang telah memberi harta itu kepadaku dalam masa yang begitu lama dan Maha terpuji Tuhan yang telah mengambil kembali harta itu, karena memang milik-Nya. Segala Puji bagi Allah yang memberi dan mengambil.Maha terpuji Tuhan yang mendatangkan bahagia dan menurunkan siksa. Dia Tuhan satu Raja dan segala raja. DiberikanNya kekuasaan dan kekayaan bagi siapa yang Dia kehendaki dan Dia cabut kekuasaan dan kekayaan itu dan siapa saja yang Dia kehendaki.” Sehabis berkata begitu, Nabi Ayub kembali bersujud menyembah Allah dengan khusyuknya, lebih dari biasanya lagi.

Setelah melihat kejadian itu, Iblis merasa kecewa besar, gagal segala niat dan usahanya. Tetapi Iblis masih mempunyai akal dan daya-upaya lain.
Dia segera datang menghadap Allah pula dan berkata: “Ayub menerima nikmat dengan pujian dan menerima cubaan dengan sabar, itu adalah disebabkan kerana Ayub masih mempunyai anak yang banyak, kepada siapa dia dapat minta tolong dan dengan siapa dia dapat kaya kembali. Bila Engkau izinkan saya, ya Allah, untuk melenyapkan semua anak lelaki dan perempuannya, saya yakin bahawa Ayub akan nyata kekafiran dan keingkarannya terhadap Engkau.”Allah menjawab: “Boleh engkau lenyapkan semua anak-anaknya, tetapi akan engkau lihat sendiri, bahawa Ayub akan tetap imannya, takkan berkurang sedikit juga.”

Kembali Iblis mengumpulkan semua kakitangan dan pembantu-pembantunya. Semuanya bersiap memasuki istana anak-anak Ayub, lalu menewaskan mereka, serta menghancurkan mahligai-mahligai dan istana yang mereka diami. Lalu Iblis pergi mendapatkan Nabi Ayub dan berkata: “Seluruh anak dan mahligaimu sudah hancur luluh. Mereka ada yang mati kerana luka-lukanya dan ada pula kerana terbanting keras terhimpit barang-barang yang berat. Demikianlah Allah membalas engkau, hai Ayub, atas semua ibadah engkau kepada Allah itu.”

Dengan airmata bercucuran dan menangis tersedu-sedu, Ayub menjawab perkataan Iblis yang sedang berbentuk manusia yang berlagak teman itu: “Allah memberi, Allah mengambil, Allah menghidupkan dan Allah mematikan. Atas semua itu aku memuji akan Allah yang menjalankan hakNya itu.” Nabi Ayub lalu sujud menyembah dan bersyukur memuji Tuhannya.

Iblis kembali kecewa besar dan gagal lagi usahanya itu, tetapi Iblis tidak kekurangan daya-upayanya. Dia kembali mendapatkan Tuhan Allah dan berkata: “Dengan habisnya harta kekayaan dan anak-anaknya itu, Nabi Ayub masih tetap sabar, kerana ia yakin dengan badannya yang sehat dan kuat itu, dia masih dapat mengumpulkan harta dan beroleh anak kembali. Izinkanlah saya sekarang juga untuk melenyapkan kesehatan badan Nabi Ayub, serta mendatangkan berbagai-bagai penyakit kepada-nya. ‘Dengan hilangnya kesehatan badannya dan dengan adanya berbagai penyakit itu nanti akan terbuktilah kepadaMu, hai Tuhan, bahawa Ayub tidak ikhlas dalam ibadahnya kepada Engkau. Dengan hilangnya kesehatan dan datangnya penyakit itu, dia akan membelakangi Engkau, akan durhaka dan tidak memuji Engkau.”

Tuhan ingin menjadikan Nabi Ayub seorang hambaNya yang benar-benar teguh memegang tampuk keimanannya, hambaNya yang tabah dan sabar, hambaNya yang tetap syukur dan memuji Allah, untuk dijadikan contoh bagi semua manusia dalam keimanan dan kesabarannya, lebih-lebih bagi orang-orang yang kehilangan harta, kehilangan anak dan pula bagi orang-orang yang ditimpa berbagai-bagai penyakit yang berat-berat. Kepada Iblis, Allah mengizinkan untuk menjalankan tipu muslihatnya yang bagaimana juga hebatnya untuk menyesatkan keimanan Nabi Ayub yang teguh itu, karena Allah Maha Mengetahui bahawa Ayub benar-benar teguh imannya, kuat dan tabah menderita, walaupun penderitaan yang bagaimana juga hebatnya, sedikitpun dia tidak akan lupa memuji syukur dan menyembah Tuhannya.

Iblis kembali muncul, menyeludup ke dalam tubuh Ayub. Lalu meniupkan kepada Ayub semacam penyakit yang amat berbahaya, sehingga karenanya, Nabi Ayub jatuh terhampar di tempat pembaringannya. Makin hari semakin kurus badannya, dia tidak berdaya; habis segala kekuatan dan kegagahannya. Mukanya muram dan pucat, dengan mata yang cekung.
Semua penderitaannya ditanggungkannya dengan keimanan tak berkurang, malah semakin bertambah; bukan dengan keluh-kesah dan kesal, tetapi dengan tetap memuji-muji Allah.

Demikianlah penanggungan Nabi Ayub, bukan berhari-hari dan berbulan-bulan, tetapi bertahun-tahun lamanya, sehingga keadaan badan Nabi Ayub sungguh menyedihkan dan hampir-hampir tak sanggup hidup lagi tampaknya. Kerana sakitnya berjalan lama, mulailah berkurang jumlah teman dan kawannya, sehingga akhirnya tidak seorang juga yang datang menengok dan menolongnya, karena tidak ada yang diharapkan lagi daripadanya. Teman satu-satunya yang masih tinggal di sampingnya, yang selalu menolong dia menanggungkan sengsara hidupnya ini, ialah isterinya sendiri, bernama Rahmah.
Isteri yang setia itu dengan tak kenal penat, meladeni Ayub yang sedang sakit payah itu dengan segala kasihmesra dan susah-payahnya. Segala kesakitan yang diderita Ayub, seakan-akan dia sendiri ikut menderitanya pula. Nabi Ayub dihibur dan diladeninya.hal mana menunjukkan keimanan seorang isteri yang kuat dan teguh, yang tidak kalah pula dengan keimanan suaminya sendiri. Penderitaan Ayub dan isterinya (Rahmah), bukan hanya sampai di situ saja, penderitaan ini semakin melonjak lagi, lebih tinggi dan lebih hebat. Ayub dan isterinya bukan hanya kehilangan hartabenda, anak, kesehatan badannya, kehilangan semua kawan dan temannya, tetapi ditambah lagi dengan penghinaan dan ejekan dan orang-orang bekas kawan dan temannva sendiri.

Mereka bukan kasihan dan datang menolong, tetapi mereka keberatan bila Ayub dan isterinya tetap berada di rumahnya dan bertetangga dengan mereka. Mereka bukan hanya merasa jijik saja melihat Ayub, tetapi juga takut kalau-kalau penyakitnya yang hebat itu dapat menular kepada mereka. Dengan tidak menaruh perasaan sedikitpun, mereka mendatangi Rahmah dan berkata: “Hai Rahmah, kami takut kalau penyakitnya Ayub berpindah kepada anak-cucu kami, sebab itu keluarkanlah Ayub dan ketetanggaan kami dan kalau engkau tidak suka mengeluarkannya, maka kami akan mengeluarkannya dengan paksa!” Mendengar ucapan yang kasar dan menyayat perasaan itu, Rahmah melolong menangis dengan sekuat-kuat suaranya: “Aduh nasib, mengapa mereka mengusir kami dan kampung dan rumah kami sendiri?” Rahmah, isteri yang setia itu mengeluarkan segenap tenaga yang ada padanya, untuk memangku suaminya dan membawanya ke luar kampung dan tinggal di sebuah pondok yang sudah ditinggalkan orang. Di sanalah Nabi Ayub beserta isterinya menanggungkan derita lahir dan batin, dengan penuh kesabaran dan keimanan yang tidak pernah berkurangan.
Untuk penghidupannya, Rahmah terpaksa bekerja memotong-motong roti pada seorang pedagang roti. Setiap petang dia pulang mendapatkan suaminya, dengan membawa beberapa potong roti yang dihadiahkan orang kepadanya. Tetapi setelah orang ramai tahu, bahawa Rahmah itu adalah isteri Ayub, maka pedagang roti itupun tidak membenarkannya bekerja lagi sebagai tukang potong roti, kerana khuatir kalau-kalau penyakit Ayub itu menulari roti yang akan dijualnya.

Karena ketiadaan pekerjaan dan makanan, maka beberapa hari lamanya, baik Ayub mahupun isteninya tidak makan dan minum sedikitpun. Ya, penanggungan di balik penanggungan, penderitaan di balik penderitaan. Karena sudah tidak tahan menahan lapar dan dahaga, Rahmah minta izin kepada Ayub untuk pergi menjalankan ikhtiar mencari makanan dan minuman. Melihat itu, Ayub berteriak kepada isterinya: “Ya Rahmah, janganlah engkau pergi meninggalkan aku seorang diri, aku takut kalau engkau tidak kembali lagi !“ Rahmah menjawab: “Jangan khuatir, ya Saiyidi, selama hayat masih berada dalam tubuhku. Aku pergi hanya sebentar dan akan segera kembali lagi.” Maka pergilah Rahmah dan tidak lama kemudian dia pulang kembali dengan membawa sepotong roti dan air minum. Setelah Nabi Ayub melihat sepotong roti segar yang dibawa isterinya itu, Ayub mengira bahawa isterinya sudah menjual kehormatan dirinya untuk mendapatkan sepotong roti itu. Lalu Rahmah menceritakan kepada Ayub, bagaimana caranya ia mendapatkan roti itu: “Ya, Saiyidi, aku bukan menjual kehormatan diriku, aku berlindung diri kepada Allah dari segala perbuatan yang menodai diriku. Roti ini aku perolehi sebagai tukaran dengan rambutku yang panjang.” Lalu Rahmah membukakan kepalanya yang tertutup itu, yang semula tertutup oleh rambut yang panjang kini sudah menjadi gondol samasekali. Melihat kejadian itu, Ayub sangat sedih hatinya, lalu dia menangis, bukan menangisi nasibnya, tetapi menangisi rambut isterinya, karena diantara yang paling menarik hatinya terhadap isterinya, ialah karena rambutnya yang panjang itu menambah kecantikan isterinya yang amat cantik. Berkatalah Rahmah: “Janganlah engkau menangisi rambutku yang sudah hilang. Ketahuilah bahwa rambut itu akan tumbuh kembali dan mungkin akan lebih indah dari yang sudah hilang itu.” Demikianlah katanya menghibur suaminya. Mendengar jawapan isterinya itu, Ayub merasa puas dan senang hatinya. Dia kembali bersyukur, bertasbih, bertakbir memuji-muji Allah. Dia merasa puas dan senang atas segala penderitaan yang dialami dan ditanggungkannya dan seketika itu juga Nabi Ayub a.s. bermunajat (berbisik) dengan segenap jiwa raganya ke hadhrat Tuhan: “Ya Allah, Tuhanku, aku ridho kalau Engkau cabut daripadaku akan nikmat Mu yang bernama hartabenda, anak turunanku dan kesehatan badanku, bahkan aku ridho kalau Engkau cabut dariku akan segala darah dan dagingku, serta kalau perlu boleh cabut segala tulang-belulang dan semua anggota badanku. Hanya aku berharap agar jangan sampai Engkau mencabut dua perkara (nikmat) Mu, yaitu akal fikiran dan lidahku, karena aku memerlukan akal dan fikiran itu, guna mengingatMu dan aku memerlukan lidah itu, untuk dapat menyebut nama dan memujiMu.”
Ya, dengan cara begitu, Nabi Ayub a.s. sesaat pun tak pernah lupa kepada Allah. Tak pernah ketinggalan menyebut dan memuji-muji Allah. Setelah Iblis melihat bahawa Nabi Ayub dengan percobaan dan penderitaan-penderitaan yang sudah tiba di puncak ketinggian dan kehebatannya itu masih tetap sabar dengan keimanan yang tak goyang sedikitpun, maka Iblis masih belum putus asa. Dia kini mencoba membelokkan perhatiannya, bukan terhadap Nabi Ayub, tetapi terhadap isterinya. Isteri Ayub sekarang ini mendapat godaan yang tidak terhingga dari Iblis la’natullahi ‘alaihi. Iblis mencoba mengingat-ingatkan kepada isteri Ayub akan masa-masa yang silam, yang penuh dengan kemeawahan dan kesenangan; Iblis mencoba pula membanding-bandingkan kemewahan dan kesenangan yang silam itu dengan penderitaan dan kepahitan yang sedang mereka alami sekarang ini. Iblis mencoba menanamkan keluh-kesah dan putus asa kepada Rahmah.

Daya-upaya Iblis ini ada juga pengaruhnya sedikit. Pada suatu hari Rahmah duduklah di samping suaminya dan berkata: “Sampai kapan Allah akan menyiksamu, ya Ayub? Ke mana perginya hartabenda kita, ke mana perginya anak-anak dan teman-teman kita? Ke mana tubuhmu yang sehat dan gagah itu?”Alangkah terkejut dan sedihnya hati Ayub mendengar kata-kata isterinya yang mulai berputar pendiriannya itu, kata-kata yang terang menunjukkan hilangnya keimanan dan kesabaran, bahkan kata-kata yang seakan-akan keluar dari jiwa yang tidak kenal Tuhan: kata-kata yang melupakan samasekali segala nikmat dan pemberian Allah yang berlimpah-limpah dalam masa yang panjang. Dia hanya mengingat akan cobaan Allah dalam waktu yang begitu singkat, harta dan anak serta kegagahan di waktu muda saja yang teringat olehnya.

Ayub menjawab kata-kata isterinya dengan rasa pedih dalam hati: ‘Sungguh engkau ini sudah dapat disesatkan syaitan dan Iblis. Engkau menangis atas kemewahan hidup yang telah hilang, anak-anak yang sudah meninggal.” Isterinya menjawab pula: “Kenapa engkau tidak berdo'a kepada Allah untuk melenyapkan kesedihan dan petaka atas dirimu ini." “Berapa tahunkah kita mendapat kesenangan dan bahagia?” tanya Ayub pula. “Selama berpuluh-puluh tahun,” jawab isterinya. “Berapa tahunkah kita menderita?” tanya Nabi Ayub. “Baru tujuh tahun,” jawab isterinya pula. “Karena itu aku malu kepada Allah meminta hilangnya petaka yang baru sebentar ini. Terbukti kepadaku, bahwa engkau sudah goyang pendirian dan menjadi tipis imanmu.

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَـٰنِ الرَّحِيمِ






وَأَيُّوبَ إِذْ نَادَىٰ رَبَّهُ أَنِّي مَسَّنِيَ الضُّرُّ وَأَنتَ أَرْحَمُ الرَّاحِمِينَ

[21.83] Dan (ingatlah kisah) Ayub, ketika ia menyeru Tuhannya: "(Ya Tuhanku), sesungguhnya aku telah ditimpa penyakit dan Engkau adalah Tuhan Yang Maha Penyayang di antara semua penyayang".

[21.83] And (remember the story of) Ayub, when he called to his Lord: "Affliction has befallen me and You are the Most Merciful of the merciful".






فَاسْتَجَبْنَا لَهُ فَكَشَفْنَا مَا بِهِ مِن ضُرٍّ ۖ وَآتَيْنَاهُ أَهْلَهُ وَمِثْلَهُم مَّعَهُمْ رَحْمَةً مِّنْ

عِندِنَا وَذِكْرَىٰ لِلْعَابِدِينَ

[21.84] Maka Kamipun memperkenankan seruannya itu, lalu Kami lenyapkan penyakit yang ada padanya dan Kami kembalikan keluarganya kepadanya, dan Kami lipat gandakan bilangan mereka, sebagai suatu rahmat dari sisi Kami dan untuk menjadi peringatan bagi semua yang menyembah Allah.

No comments:

Post a Comment